10 Tahun Tanpanya



 

The ones who love us never really leave us, you can always find them in here.”


― J.K. Rowling, Harry Potter and the Prisoner of Azkaban

10 tahun yang lalu saya kehilangan salah satu orang terdekat saya.

Ironisnya, saya tidak pernah merasa ketakutan akan kehilangan dia, saat dia masih hidup. Tapi saat saya tahu bahwa nenek saya meninggal, seketika itu juga dunia saya serasa runtuh.

Saya bukanlah seorang cucu yang dekat dengan neneknya. Saya bukan salah satu cucu favorit nenek saya. Saya juga bukan orang yang selalu ada untuknya, atau sebaliknya. Tapi dia memiliki bagian penting dalam berbagai peristiwa kehidupan saya.

Saya ingat bagaimana saya pernah mengeluh kalau saya tidak bisa dengan nenek saya seperti teman-teman saya dekat dengan neneknya. Bahkan keponakan, sepupu saya lainnya pun lebih dekat dengan nenek saya.

Saya sering merasa terasing, merasa ada sekat di antara kami, yang setelah sekian lama dia pergi, baru saya sadari adalah kesalahan saya sendiri. Saya terjebak dalam asumsi, dalam tragedi, dalam kesedihan yang saya bangun sendiri.

Selama ini saya mengira bahwa saya berubah. Saya mengira bahwa saat kecil saya mudah bergaul, kemudian menjadi sulit percaya dengan orang lain, dan kemudian akhirnya menjadi sulit bersosialisasi.

Sampai akhirnya saya sadar, bahwa sebenarnya saya tidak pernah berubah. Dari kecil, saya adalah orang yang senang untuk bisa menyayangi orang lain. Selalu mau all out. Selalu mau memberikan yang terbaik yang saya bisa. Yang menyedihkannya, saya tidak bisa percaya bahwa ada orang lain yang bisa memiliki perasaan yang sama dengan saya. Saya ragu bahwa ada orang yang menyayangi saya karena saya, bukan karena keharusan dan karena keadaan.

Bulan lalu, saya bermain game "Tentang Kita" dengan teman-teman saya, dan salah satu pertanyaannya adalah, "Apa ketakutan terbesarmu?" dan jawaban saya adalah, "Saya takut menjadi pilihan kedua".

Saya takut menjadi pilihan kedua, pilihan aman, seorang yang disayangi dan dipilih karena memang gak ada lagi yang bisa disayang, hahaha.

Lalu, apa hubungannya ketakutan saya dengan kehilangan nenek saya di 10 tahun lalu?

Saya begitu takut saya tidak disayangi sepenuhnya oleh nenek saya, sehingga saya membohongi perasaan saya sendiri. Saya meyakinkan diri saya bahwa saya tidak memiliki perasaan sayang yang sebesar itu untuk nenek saya. Yang akhirnya saat akhirnya saya kehilangan nenek saya, yang tersisa hanya perasaan sesal.

I wish I could tell her, show her, how much I love her.

Setelah kehilangan nenek saya, saya pun terjebak dalam toxic relationship karena saya takut kehilangan. Rupanya belum sepenuhnya bertobat saya. Dan kalau belakangan ini lagi rame tentang the law of attraction, power of manifesting, saya setuju dengan hal tersebut.

Saat kita sibuk menyembuhkan luka, seringkali kita sesungguhnya hanya menambah luka baru atau memperdalam luka tersebut. Kenapa? Karena kita menginginkan perbaikan yang instan. Gak sabar dengan proses. Merasa harus berlari dengan waktu. Dalam kasus saya, diperparah dengan kecenderungan saya untuk mencari luka baru sendiri.

Fight your demon, they said, don't feed it.

Terasa sulit ketika kamu bahkan tak tahu bahwa ada sisi lain dari dirimu yang perlu kau perangi, perlu kau enyahkan, demi mencintai dirimu kembali seutuhnya.

10 tahun lalu, saya menangis karena saya tahu tak ada yang bisa saya lakukan untuk memutar waktu.

10 tahun kemudian, saya menangis karena saya tahu bahwa ternyata saya sesungguhnya masih berharap bahwa saya bisa memutar waktu.

Post a Comment

0 Comments