Siapa yang Harus Kita Dengar?

Di era informasi yang cepat ini, tingkat toleransi antar manusia dituntut untuk meningkat tajam. Isu rasial, keagamaan, dan juga kemanusiaan, begitu cepat menjadi perbincangan hangat dan memicu perdebatan yang sengit.

Tentu saja hal tersebut tergolong wajar karena sebenarnya isu-isu di atas adalah isu sensitif, karena berhubungan juga dengan prinsip hidup seseorang.

Ada yang tidak masalah saat rasnya disinggung, malah ikut tertawa dengan guyonan yang dilontarkan. Ada yang sangat peka terhadap apa yang dikatakan orang lain tentang keyakinannya sehingga menjadi reaktif. Ada juga yang mati-matian berjuang untuk HAM sehingga akhirnya mengabaikan aspek-aspek lain yang akan terkena dampaknya.

Lalu, bagaimana hal tersebut mempengaruhi kehidupan kita?



Setiap perkataan dan perbuatan kita disorot secara tajam oleh orang lain, suka maupun tidak suka.

Akibatnya, kita tidak lagi dibatasi oleh norma, prinsip hidup, atau keyakinan yang kita pegang. Kita dibatasi oleh pendapat orang lain tentang kita. Kita menjadi takut bahwa apa yang kita lakukan dan imani tidak bisa diterima oleh khalayak luas.

Apakah itu hal yang buruk?

Tentu saja masih ada hal baik yang bisa kita petik. Kita diajar untuk menjadi seorang yang rendah hati, tidak arogan alias merasa yang paling benar, sekaligus menghargai perasaan dan pendapat orang lain.

Hanya saja, seringkali kita tidak sadar bahwa kita menjadi seorang yang tidak mempunyai prinsip. Setidaknya, menjadi orang yang gagal memegang prinsipnya sendiri.

Padahal, ini adalah hidupmu.

Orang lain tidak akan pernah sepenuhnya mengerti alasan kau mengambil sebuah keputusan. Beberapa akan mendukung, namun mungkin tak sedikit juga yang mencibir.

Apakah itu penting? Tidak, karena kau tahu apa yang paling baik untukmu. Kau tak punya kewajiban untuk menjelaskan pilihanmu kepada orang lain. Kecuali, tindakanmu tersebut merugikan orang lain.

Saya akan mengambil contoh dari perdebatan yang paling sering saya lihat di dunia maya, tentang menjadi seorang ibu.

Ada yang mendukung ibu setelah punya anak kembali bekerja. Ada yang merendahkan ibu yang memberikan susu formula untuk anaknya. Ada yang meremehkan ibu yang melahirkan lewat operasi.

Orang-orang begitu mudah memberikan komentar, seolah mereka adalah orang yang maha tahu dan maha bisa.

Ya, memang ada ibu yang kembali bekerja karena tidak tahan mengurus anak.

Ya, ada ibu yang memberikan susu formula karena takut tubuhnya tidak menarik lagi.

Ya, ada ibu yang memilih operasi karena memang tidak mau melahirkan secara normal.

Tapi mereka yang memberikan komentar tidaklah sepenuhnya tahu tentang para ibu tersebut.

Mereka mungkin mengetahui kisahnya, tapi sampai kapanpun mereka tak akan pernah tahu bagaimana rasanya menjadi para ibu tersebut.

Mereka melihat hanya dari aspek yang ingin dilihat, mengabaikan aspek paling penting, yaitu pribadi para ibu yang mereka gunjingkan.

Para ibu tersebut memiliki perasaan, pemikiran, prinsip, masa lalu, keluarga, karir, lingkungan, dan masih banyak lagi faktor yang pastinya mempengaruhi pilihannya. Dan lucunya, para pemberi komentar lupa bahwa mereka pun bisa memberi komentar jahat karena pengaruh-pengaruh tersebut.

Tidak semua orang memiliki kepribadian yang kuat. Tidak semua orang memiliki keluarga yang mendukung. Tidak semua orang memiliki teman yang siap mendengarkan. Tidak semua orang memiliki keuangan yang stabil. Dan yang paling penting, tidak semua orang bisa menjadi inspirasi bagi orang lain.

Setiap manusia punya kelemahan dan kekuatannya sendiri. Haruskah kita melihat dunia dengan mengabaikan aspek tersebut?

Karena itu, percayalah bahwa pendapat orang lain tidaklah penting. Yang paling penting adalah melakukan suatu hal yang menyukakan Tuhan.

Tuhan telah mencintai kita dengan sangat sehingga Dia mengirimkan Anak-Nya yang tunggal. (Yoh. 3:16) Padahal, apakah kita layak menerima penebusan tersebut? Tidak sama sekali.

Tapi karena Tuhan mengasihi kita (Mzm. 103), Dia mengirimkan Penebus yang akan kita rayakan kelahirannya pada hari raya Sukkot (Im. 23:39-43).

Mengingat kasih Tuhan yang begitu besar kepada kita, mengapa kita malah sibuk memikirkan pendapat orang lain?

Seharusnya kita sibuk memikirkan apa yang menyukakan Tuhan, bukan berfokus pada pendapat orang lain.

Menyukakan orang lain itu melelahkan. Menyukakan Tuhan itu melegakan (Mat. 11:28-30).

Daripada kamu memikirkan orang lain yang hendak mengatur hidupmu, pikirkanlah Dia yang memberikanmu hidup.

"ADONAI your God you will follow and Him you will fear. His mitzvot you will keep, to His voice you will listen, Him you will serve and to Him you will cling" (Deu. 13:5)

 

Salam sayang,

Zelie

 

 

Post a Comment

3 Comments

  1. Mendengarkan pendapat negatif orang lain hanya akan membuat pikiran kita ikut negatif... saya sih begitu, hehe.
    Saya nggak suka sama orang2 yang ngomongnya negatif, menghina, menjudge, dan sejenisnya. Ketika ditanya, siapa yang harus kita dengar, mungkin jawabnya : yang mau mendengar kita...(?)
    Kalau dia mau mendengar kita, nggak akan ngejudge kita.
    Maaf ribet😂

    ReplyDelete
  2. Bener banget, kalau misalnya cuma satu arah mah jadinya kita cuma capek ati sendiri :)

    ReplyDelete
  3. […] Tapi, apa mereka salah? Mereka kan gak bisa baca pikiran kita. Mereka juga bukan kita, jadi gak tau segala faktor yang memengaruhi kepribadian kita. Kalau cuma mikirin pendapat orang, gak akan ada abisnya🙂 […]

    ReplyDelete