[Opini Bareng] Klimaks dalam Cerita

Opini Bareng 2015

Hai, hai!

Sudah lama sekali dari terakhir saya update di blog buku. Bukannya gak baca buku, tapi memang lagi gak mood buat review buku. Problem klasik blogger buku, ya?

Sampai sekarang sih saya masih gak mood buat review buku, jadi saya akan share pendapat saya sesuai dengan tema Opini Bareng bulan ini.

Setiap orang mempunyai buku favorit dengan alasan yang unik. Seperti saya yang jatuh cinta dengan Charlie and the Chocolate Factory karena kemampuan Dahl untuk membuat saya langsung ingin makan cokelat dan bahkan punya pabrik cokelat sendiri seperti Willy Wonka.

Padahal, kalau dipikir-pikir buku tersebut tidaklah memiliki klimaks, layaknya buku anak-anak lainnya. Mungkin itu juga alasan mengapa banyak sekali penyesuaian yang dibuat dalam film adaptasinya.

Mengapa buku Charlie and the Chocolate Factory menurut say tidak memiliki klimaks? Karena dalam peraturan penulisan cerita yang saya pelajari saat masih sekolah (ehm!), klimaks itu seharusnya berada di tengah cerita dan akhirnya ada anti-klimaks dan penutup.

Sedangkan di cerita tersebut, alur cerita cenderung datar dan bisa tertebak. Gak ada unsur kejutan, gak ada plot twist. Yah, sepertinya kebanyakan buku anak begitu, deh.

Hal tersebut membuat saya suka dengan buku anak.

Saya memang sedikit aneh. Kalau ada adegan yang saya gak suka, baik di buku atau film, saya pasti langsung skip. Langsung buru-buru pengin tahu endingnya aja, gak mau tau prosesnya. Itulah yang sering jadi batu sandungan saya kalau lagi nulis, penginnya cepet selesai dan gak mau bahas prosesnya. *lalu dijitak

Jadi sebenarnya, klimaks itu penting gak, sih?

Menurut saya, tergantung dari ceritanya. Seperti halnya buku kesayangan saya tersebut, klimaksnya gak gitu dapet, tapi saya tetap menjadikannya sebagai buku favorit. Kenapa? Gaya bercerita yang asyik dan pengin baca terus.

Selain gaya cerita, panjang cerita juga menurut saya sangatlah menentukan.

Jangan sampai pembaca sudah keburu bosan membaca karena kamu terlalu bertele-tele dan gak ada perkembangan ceritanya.

Sedangkan kalau buku yang ada klimaks, tricky juga, lho. Jangan sampai klimaksnya udah dapet, eh anti-klimaksnya tuh terlalu drop sehingga akhirnya malah jadi gak masuk akal atau gak seimbang.

Yang bahaya juga kalau klimaksnya nanggung, jadi kayak baru juga masalahnya dikenalkan, dibahas sedikit, eh udah selesai. Ngeek. Ngapain coba ada masalah? Tulis aja puisi kalau gitu. Puisi aja masih ada masalahnya. *sadis

Semuanya kembali lagi ke perspektif pembaca. Ada yang menikmati klimaks berkepanjangan, ada yang lebih suka yang flat-mudah ketebak dan gak ada kejutan atau masalah berarti.

Kalau kamu, gimana? Suka yang ada kejutan, masalah 'besar' atau yang biasa aja?

 

Cheers,

Zelie

Post a Comment

2 Comments

  1. saya lebih suka yang ada masalah besarnya. dan kalau pun ada anti klimaks. itu harus benar benar detail dan memuaskan hingga bagian akhir.

    ReplyDelete
  2. […] Opini Bareng: Ekspektasi – Januari (Dare to Say 12 dan Yummy Story ≠ Yummy Title), Klimaks dalam Cerita – Oktober (Klimaks dalam Cerita) […]

    ReplyDelete