One Day in My Life

Hari Kamis, 29 Mei 2014.

Saya sedang sewot karena sejak siang tidak bisa mengakses internet lewat Telkomsel. Kebetulan saya punya dua handphone. Yang layar lebar saya gunakan untuk socmed, blog, game, Line dan BBM. Yang layar kecil untuk Whatsapp.

Pertimbangannya, Whatsapp saya memiliki banyak grup yang super aktif sehingga akan boros batt bila digabungkan. Jadi, saya pisahkan seperti itu.

Sebelum ke gereja, saya sudah janjian sama teman saya, Wiwi, untuk ketemuan. Eh karena hilangnya sinyal Tsel, jadilah saya gak bisa ketemuan. Salah saya juga sih, gak simpen nomor telp Wiwi. Terlalu mengandalkan BBM.

Akhirnya saya ke MoI bersama adik saya, Baby. Nonton film yang paling dekat dengan waktu kedatangan kami supaya gak kemaleman pulangnya. Saat itu sudah jam 5 sore, film yang akan kami tonton mulai jam 5.40

Karena Baby membeli ice cream di luar blitz, saya memutuskan ke Gramedia untuk menunggu film mulai. Biarlah Baby menikmati ice cream sementara saya liat buku.

Sejujurnya, belakangan ini saya sedang malas ke Gramedia. Termasuk, belanja buku online. Alasan sepele, saya tidak sedang ingin beli buku. Padahal biasanya semangat.

Kemudian saya ingat saya pernah menghabiskan nyaris dua jam di Gramedia MoI bersama teman saya, Larry. Saat itu kami batal nonton morning show karena saya telat datang. Saya pun sedang tidak lapar, jadi kami memutuskan ke Gramedia. Saya sempat membaca majalah otomotif bersama Larry. Dia memberi beberapa komentar tentang mobil yang saya gunakan dan menyarankan saya agar membeli Ford terbaru. Dikira duit itu tinggal petik di pohon kali ya ._.

Teringat oleh adegan itu, saya memutuskan akan menceritakan ke Larry tentang film yang (waktu itu) akan saya tonton bersama adik saya. Larry memang suka sekali nonton film. Menurut pengakuan dia, sudah semua film sci-fi yang ada di website download film (lupa namanya apa) ditonton olehnya.

Selesai menonton And the Light Goes Out bersama adik saya, saya sudah membuka Line untuk mengontak dia. Tapi sinyal Tsel sedang tidak bersahabat. Saya juga merasa tidak terburu-buru.

It can wait.

Saya tidak sadar bahwa saya sudah terlambat untuk mengontak dia, bahkan meski saya mengontak dia segera sesudah menonton film. Atau sebelumnya.

Saat saya sampai di rumah sekitar jam 9 malam, saya mendapat SMS dari nomor yang tidak saya kenal.

"zel, lary meninggal?"

Saya terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya kelabakan mencari tahu. Nomor tersebut ternyata nomor teman SD saya yang tak saya simpan di handphone baru.

Saya berusaha mengakses facebook yang ternyata sulit. Mencoba lewat akun mama saya, tapi tidak muncul posting dari yang lain. Mungkin karena mereka tidak berteman di facebook.

Akhirnya saya teringat saya punya kontak Michael dan segera minta dia cek di facebook karena Yandri (yang pertama kali kontak saya) hanya memberi info sepotong-sepotong.

Didesak oleh Mama dan adik saya, akhirnya saya memberanikan diri untuk menelpon Larry secara langsung dan ternyata nomornya tidak aktif. Saat saya cek whatsapp, Michael sudah menjawab, "Iya, bener." setelah dia mengecek di facebook. Vincent yang sudah saya SMS untuk kepastian pun kemudian menelpon saya untuk memberi tahu kalau berita itu benar.

Somehow, it feels like deja vu.

Saya teringat saya merasa pernah mendapat kabar seperti ini dan saya mencari kepastian tentangnya di facebook, twitter dan mana saja.

Hanya, di kenyataan, saya tidak mengakses semua itu karena sinyal yang buruk.

Saya segera minta ijin ke bos saya agar bisa melayat. Padahal sebelumnya saya termasuk orang yang ragu mau ijin tidak masuk. Melihat balasan bos yang tidak begitu jelas antara diijinkan atau tidak, saya jadi ragu.

Adik saya pun bilang, kalau datang ke sana, toh gak kenal sama orangtua Larry. Nanti awkward. Dan saya setuju, mengingat saya memang susah bergaul dan itu ,susah basa-basi.

Akhirnya saya membatalkan cuti saya lewat email di pagi hari.

Selesai email saya cerita ke Mama, beliau mengatakan bahwa saya harus datang. Apalagi kalau Larry memang teman baik saya.

Setidaknya saya bisa memberitahu orangtua Larry bahwa anaknya memiliki teman yang peduli.

Dan di luar dugaan saya, bos saya sampai menelpon untuk meyakinkan saya agar cuti. Yang penting, saya masuk tepat waktu dan kerjaan beres. Saya jadi terharu dan sangat berterima kasih pada bos saya. Belum tentu kalau saya bertemu bos lain (di perusahaan lain), saya akan diijinkan.

Tapi sebenarnya kendala saya bukan hanya ijin bos. Saya juga tidak tahu arah ke rumah Larry. Dan dari info yang saya dapat, ibadah tutup peti jam 8 pagi dan penguburan jam 2 siang.

Rumah Larry (dia disemayamkan di rumah) di Cibubur sementara saya dari Rawamangun. Jam 1, saya harus tiba di kantor di Kebon Jeruk.

Apakah saya bisa sampai tepat waktu?

Puji Tuhan, saya akhirnya sampai di rumah Larry (setelah nyasar beberapa kali dan bertanya entah berapa puluh kali!) sekitar jam 11. Saya pun berhasil sampai kantor tepat waktu, bahkan 45 menit lebih awal. Magic, huh?

Semakin dekat dengan rumah Larry, saya merasa sedikit gemetar dan lemas. Bukan takut. Saya hanya merasa, "Astaga, ini sungguh nyata! Bukan cuma mimpi."

Saat sampai di rumah Larry, saya bertemu dengan tiga orang teman SD saya. Rasanya sedih juga, harus reuni dalam keadaan seperti ini. Saya sempat salah mengenali Didit dan Virant, mereka mirip sih dalam ingatan saya >_<

Saat bertemu dengan mamanya Larry, saya ditanya kapan terakhir kontak dia. Saya jawab sekitar 2 minggu lalu. Beliau tersenyum. "Kebanyakan temennya belum lama dikontak ya"

Yah, memang begitulah Larry. Dia termasuk supel dan sangat senang mengontak teman lama. Beda dengan saya yang cewek tapi malah gak ramah :)

Kalau sebelumnya saya sangat penasaran dengan detail menjelang kematian orang lain, saat ini saya sama sekali tidak berniat mencari tahu.

Saya sering menonton film tentang balapan dan membayangkan kecelakaan terjadi pada teman saya sendiri, ngilu.

Saya tidak bisa membayangkan saat-saat terakhirnya. Dan saya tidak mau.

It just too sad.

Saya merasa kehilangan teman terbaik. Mengingat dia termasuk teman terlama yang saya punya.

Dia adalah orang yang saya bisa ajak bicara soal apapun. Orang yang bisa mengungkapkan pendapatnya kepada saya tanpa membuat saya tersinggung. Orang yang memiliki selera mirip dengan saya.

Saya teringat saat kami bertemu di acara ASEAN Literary Festival. Dia bercerita bahwa dia sempat memacu motornya dengan kecepatan tinggi karena jalanan sepi.

Saya pribadi tidak suka orang yang ngebut di jalan raya. Berbahaya. Tapi saat itu saya hanya menggeleng-gelengkan kepala, tidak berkomentar apa-apa.

Saya memang tidak bisa memutar waktu. Hanya, saya tetap merasa menyesal karena saya tidak mengucapkan yang ingin saya ucapkan.

Kalau saya sempat mengingatkan dia saat itu, mungkin saya akan lebih rela. Tapi mungkin juga tidak, karena saya akan merasa kesal dia tidak mendengarkan saya.

Saya pun tidak yakin apakah saya harus menyesal karena tidak kontak dia selama 2 minggu menjelang kepergiannya.

Tidak menerima balasan dari dia, apakah akan membuat saya merasa lebih baik dari sekarang?

Satu yang sedikit saya syukurkan adalah saya sempat berfoto bersama dengan dia, belum lama ini. Sekitar Agustus tahun lalu, saat reuni yang mendadak. Untung saja dia mau ikut :)

Oh ya, Larry adalah salah satu orang yang mengatakan bahwa tulisan saya bagus. Dia suka dengan cerita saya yang berjudul Classic Love Story dan berkata bahwa saya harus menyelesaikannya. Gak nyangka akan menerima komentar seperti itu dari seorang cowok. Semoga saja saya bisa menyelesaikan cerita itu :)

Saya percaya bahwa kematian mengantarkan kita ke kehidupan baru. Bahwa mereka yang meninggal, berbahagia. Sayangnya, yang ditinggalkan sering merasa berat untuk merelakan karena kebiasaan dan kenangan yang ada.

Saya pernah membahas tentang bagaimana saya merasa kehilangan Emak saya dan bagaimana saya berusaha merasa terbiasa dengan kehilangan.

Saya pikir, saya akan terbiasa dengan kehilangan. Tapi, apakah kita bisa merasa terbiasa dengan kehilangan?

Rest in peace, my beloved friend, Larry Lutarto. God love you more than we all do.

 

Post a Comment

0 Comments