Hari Jumat yang lalu, saya makan siang bareng temen SMP saya, Agnes. Yes, I have to mention her name as if I'm not, she would be very cranky -trust me.
Kalau biasanya dia akan memancing saya supaya jadi galau, siang itu dia bilang kalau tidak boleh ada kegalauan di saat makan siang. Bisa hancur mood pas kerja. Dan saya setuju.
Kemudian tiba-tiba saja Agnes menyebut nama Dia-Yang-Tak-Boleh-Disebut versi Zelie Petronella saat makan siang. Sedikit lupa apa yang dibicarakan, intinya Agnes bilang kalau Agnes tidak berminat sama Dia-Yang-Tak-Boleh-Disebut.
Akhirnya saya pun berkata kalau saya lagi sebel sama Dia-Yang-Tak-Boleh-Disebut. Masalah sepele, tapi berhasil bikin saya kehilangan ketertarikan saya padanya.
Aneh. Mengingat saya menghabiskan bertahun-tahun untuk menetralkan perasaan saya, akhirnya selesai karena hal yang sederhana.
Sekadar emosi? Oh, tidak. Dia sudah pernah lebih menjengkelkan. Sudah berkali-kali malah. Enggak peka. Ngeselin. Dia-Yang-Tak-Boleh-Disebut punya berbagai cara untuk membuat saya sebel, tapi selalu saya punya maaf untuknya.
Kali ini, meski saya sudah tidak lagi jengkel, perasaan berbunga-bunga setiap kali mendengar namanya sudah tidak pernah muncul.
Membawa saya ke dalam pertanyaan, "Kenapa baru sekarang?"
Belum nemu jawaban untuk itu, Agnes malah melontarkan argumen, "Enggak boleh langsung kesel gitu. Harus tanya dulu, kenapa mendadak dia nyebelin. Pasti ada alasan di balik tingkah nyebelin dia."
Reaksi saya mendengar ucapan Agnes adalah menghela napas panjang sebelum berucap, "Itulah, Nes, kenapa lu susah banget move-on. Selalu mencari alasan."
Jahat ya, saya? xD
Well, saya cuma merasa bahwa itu adalah benar. Alasan bahwa Agnes -dan juga saya, dulu- sulit sekali merelakan adalah karena berusaha mencari alasan untuk bertahan.
Dan, itu membuat saya menemukan jawaban dari pertanyaan, "Kenapa baru sekarang?"
Karena..saya akhirnya tidak berusaha membela Dia-Yang-Tak-Boleh-Disebut. Saya tidak memberi maklum pada tingkahnya yang menjengkelkan.
Mungkin kalian sepakat dengan Agnes, "Bagaimana kalau itu dilakukan secara tidak sengaja?"
Oh, come on!
Enough is enough.
Saya pernah merasa bahwa kami memiliki banyak kesamaan. Saya pernah yakin bahwa bersama dia ada rasa aman dan nyaman. Saya pernah menunggu agar dia melihat saya dengan cara yang sama seperti saya melihatnya.
Dia-Yang-Tak-Boleh-Disebut, suatu hari nanti mungkin akan lenyap sepenuhnya dari hati saya. Bahkan dari hidup saya. Dan saya tidak khawatir.
Saat kita membiarkan sesuatu seperti apa adanya, tidak perlu mencari alasan atau kemungkinan, maka saat itulah kita sudah selangkah maju untuk bahagia.
Bahagia itu pilihan. Siapkah kamu untuk merelakan?
Love, ZP ♥
0 Comments