Title: Ronggeng Dukuh Paruk
Author: Ahmad Tohari
Publisher: PT Gramedia Pustaka Utama
Paperback, 408 pages
Cetakan ketujuh, 2011
ISBN-13: 978-979-22-7728-9
Language: Indonesian
Genre: Romance, Historical Fiction
Rec. age to read: Above 15 y.o
Source: Obralan Gramedia
Price: Rp 35.000
Synopsis:
Semangat Dukuh Paruk kembali menggeliat sejak Srintil dinobatkan menjadi ronggeng baru, menggantikan ronggeng terakhir yang mati dua belas tahun yang lalu. Bagi pendukuhan yang kecil, miskin, terpencil, dan bersahaja itu, ronggeng adalah perlambang. Tanpanya, dukuh itu merasa kehilangan jati diri. Dengan segera Srintil menjadi tokoh yang amat terkenal dan digandrungi. Cantik dan menggoda. Semua ingin pernah bersama ronggeng itu. Dari kaula biasa hingga pejabat-pejabat desa maupun kabupaten. Namun malapetaka politik tahun 1965 membuat dukuh tersebut hancur, baik secara fisik maupun mental. Karena kebodohannya, mereka terbawa arus dan divonis sebagai manusia-manusia yang telah mengguncangkan negara ini. Pedukuhan itu dibakar. Ronggeng beserta para penabuh calungnya ditahan. Hanya karena kecantikannyalah Srintil tidak diperlakukan semena-mena oleh para penguasa di penjara itu. Namun pengalaman pahit sebagai tahanan politik membuat Srintil sadar akan harkatnya sebagai manusia. Karena itu setelah bebas, ia berniat memperbaiki citra dirinya. Ia tak ingin lagi melayani lelaki mana pun. Ia ingin menjadi wanita somahan. Dan ketika Bajus muncul dalam hidupnya, sepercik harapan timbul, harapan yang makin lama makin membuncah. Tapi, ternyata Srintil kembali terempas, kali ini bahkan membuat jiwanya hancur berantakan, tanpa harkat secuil pun...
Sinopsis di atas saya comot dari Goodreads karena saya sangat tidak suka dengan apa yang disajikan oleh buku ini di bagian cover belakang. Hanya bertuliskan "Novel ini merupakan penyatuan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dinihari, dan Jentera Bianglala, dengan memasukkan kembali bagian-bagian yang tersensor selama 22 tahun."
Terus sisanya adalah list nama pemeran di film Sang Penari yang katanya terinspirasi dari buku ini. Sebel. Sebenernya, saya lagi beli buku atau VCD/DVD sih? Lebih 'dijual' film daripada bukunya. *ngedumel
Saya memang belum pernah menonton film Sang Penari, tapi kok saya meragukan yaa Prisia Nasution berhasil memerankan Srintil dengan baik. Srintil itu terlalu 'wah' dan rasanya kok enggak cocok sama Prisia. Yah, mungkin saya harus membuktikan sendiri nanti.
Saya sedikit bingung hendak menulis apalagi tentang buku ini agar terhindar dari spoiler. Jadi, saya akan membahas lebih lanjut tentang apa pendapat saya selama dan setelah membaca buku ini.
Selama baca buku ini yang saya rasakan adalah seperti sedang menonton TV. Ada bagian yang bikin saya serasa sedang nonton bola/badminton dan bikin pengen teriak, "NOO! Jangan begitu, kenapa sih?"
Kali lain, serasa sedang nonton film horror di bagian mendebarkan sehingga bikin saya meneruskan dengan harapan tidak akan terjadi hal-hal tidak diinginkan. Bedanya, saya tidak mungkin menutup mata saat membaca buku hanya karena tidak yakin sanggup membaca lanjutannya, kan?
Ada juga bagian yang membuat saya serasa sedang menonton drama Mandarin tanpa subtitle. Saya mengerti apa yang hendak disampaikan lewat adegan, tapi kata-katanya tidak saya mengerti. Ya, ada beberapa kalimat dalam bahasa (Jawa?) yang saya sangat sesalkan tidak ada terjemahannya sehingga saya tidak bisa mengerti apa yang dikatakan.
Setelah membaca buku ini, saya kesel dengan ending yang disajikan Ahmad Tohari. Why? Why? WHY??? *banting tissue dengan mata berkobar
Ending yang tidak sesuai harapan membuat saya terpaksa menurunkan rating menjadi hanya 4* untuk buku ini.
Tokoh yang paling saya suka dalam buku ini adalah Nyai Sakarya. Adegan saat dia menjemput Srintil yang berontak, membuat saya trenyuh. Juga saat dia mendekap Srintil yang sedang gundah gulana. Membuat saya merasa Dukuh Paruk tidak terlalu tertinggal kalau ada wanita bijak dan hangat seperti beliau.
Beberapa kalimat yang berkesan buat saya dari buku ini:
"Bila aku masih mendengar suara anakku, itu pertanda baik. Berarti mereka masih hidup." (hlm. 163)
"..jangan membabi buat mengejar orang yang lari. Nanti terbanting.." (hlm. 167)
"Jangan tertawa terlalu terbahak-bahak, sebab nanti akan segera menyusul tangis sedih." (hlm. 184)
"..dia boleh berhubungan dengan laki-laki yang baik dan sekali-kali jangan berurusan dengan lelaki petualang. Pesan yang indah bukan hanya karena isinya.." (hlm. 362)
Hal yang bisa saya petik dari buku ini adalah berdamai dengan diri sendiri dan memperjuangkan apa yang kita inginkan dengan sepenuh hati. Yakinlah bahwa kita pantas menjadi yang paling baik dari diri kita, tak peduli apa latar belakang kita. Bukan tentang masa lalu, bukan tentang kesalahan yang telah kita perbuat. Kita, harus selalu jujur pada diri sendiri sehingga bahagia akan selalu mengiring.
Baca juga review dari temen BBI yang ikutan baca buku ini:
Kak Lila @ My Book Corner
Cheers!
24 Comments
pingin bacaa jugaaaa.. *siapin tisu
ReplyDeleteKalau aku suka endingnya, chei...
ReplyDeletebosan cerita hepi ending melulu, kenyataan kan tidak semanis itu :P
*realistis*
Iya sih, tapi..tapi.. Aku gak terima aja kalau seperti itu akhirnya, hiks.. :(
ReplyDeleteAh dulu dah pernah review buku ini , buku yang menarik :)
ReplyDeleteAku juga tidak suka dengan penyelesaiannya, nggantung banget.
ReplyDeleteTerus terang dari gabungan ketiga buku, aku cuman suka buku pertama, buku ketiga malah benar-benar perjuangan buat menyelesaikan, seakan-akan sengaja dipanjang-panjangin biar tidak langsung bertemu dua pasangan itu, dan terus akhirnya .... \(-__-)/
Saya dulu baca yg masih lepas-lepas kayaknya, sampe lupa ceritanya. Tapi kayaknya cuma baca buku pertama. Ini gabungan ketiganya ya? Tapi harganya kan 65rb kok bisa jadi 35rb iki piye ceritaneeeeee????
ReplyDeleteIya, aku juga terus terang paling suka bagian yang pertama. Yang kedua agak lelet ceritanya tapi masih suka. Yang ketiga serasa anti-klimaks jadinya, walau emang terkejut sih, ternyata eh ternyataa.. bikin gemes xD
ReplyDeleteAhaha, kan udah ditulis, dapet dari obralan gramedia :P
ReplyDeleteDapet Gone with the Wind yang tebel banget seperti kitab itu aja Rp 50.000 saja *malah ngomporin
Coba baca ulang deh, bagus aja kok. :P
eh eh eh, ini sad ending yaaa? boleh juga nih...*penggemar sad ending* aku juga belum pernah nonton sang penari chei, tapi kayaknya mendingan baca bukunya aja ah daripada nonton filmnya... oiya jadi adegan yg disensor 22 tahun itu signifikan ga?
ReplyDeleteBUKU FAVORITKUUU!!!! Pengen baca lagi. Dulu aku baca pas masih 3 buku tipis-tipis. Korban sensoran.
ReplyDeleteKak Astrid, enggak bisa dibilang sad ending juga sih, menurutku. Tapi emang enggak "sinetron banget" (baca:too good to be true) :P
ReplyDeleteSoal adegan yang disensor, aku kurang paham, kak. Tapi sepertinya emang enggak ada yang disensor alias terbuka aja. Sedikit bahas politik sih buku ini tapi dalam bahasa yang sederhana aja, menurutku :D
Coba baca lagi aja kak, biar bisa tahu apa bedanya sama yang tersensor dan yang tidak xD
ReplyDeleteHehehe, endingnya memang bikin mangkel sih. Tapi aku tetep suka buku ini.
ReplyDeleteRp 35000? Haduuu murahnya. Aku juga mau.
Baca ini gegara ada temen yang skripsinya membahas novel ini. Aku baca buku ini pas baru lulus kuliah, dan nyesel gak baca dari dulu, dulu takut gak kuat baca 'label sastra' kayak gini, ternyata salah besar, aku langsung kepincut ama gaya kepenulisan Ahmad Tohari dan langsung berburu bukunya yang lain. Sementara selain ini, aku baru punya Bekisar Merah ama Orang-orang Proyek.
ReplyDelete@lucktygs
http://luckty.wordpress.com/2014/02/27/review-the-jacatra-secret/
Bener, ending yang menggantung. Hihihi..
ReplyDeleteIya, dapet dari obralan Gramedia. Enggak nyangka bisa dapet buku ini :D
Aku sukaaaaaaaaa banget RDP ini. Meskipun endingnya hampir bikin aku ikutan gila juga *kayak Srintil* dan bikin pengen ngelempar bukunya saking bikin depresinya :'( Tapi worldbuilding sama karakterisasi tokoh di RDP ini, buat aku keren banget, jadi kasih 5 bintang deh di GR :)
ReplyDeleteyahhhh, kenapa sad ending sih padahal aku pengen baca buku ini *pecinta happy ending garis keras*
ReplyDeletenunggu saat yang tepat buat baca buku ini #kapanya
ReplyDeleteSaat yang paling tepat adalah sekarang :P
ReplyDeleteDuuhh, ternyata komenku ga masuk ya kemarin? 😌
ReplyDeleteaku setuju, Chei, Nyai Sakarya justru adalah maskot di buku ini.
Ahaha, iya nih, baru ada komen yang ini.
ReplyDeleteAku baru ngeh, ternyata buku yang kita baca dua-duanya sama yaa >,<
Wow, 4 bintang! Provokatif banget, nih. Jadi pengin baca. Udah mengendap di timbunan sejak berabad-abad lampau :D
ReplyDeleteAyo, ayo, dibaca. Seru lho, jangan ditimbun :P
ReplyDeletejadi pengen baca juga....
ReplyDelete