Foto di atas diambil pada bulan Desember tahun 2010. Lihatlah bagaimana kita masih unyu-unyu. Padahal kita sudah lulus SMA, kenapa di foto ini masih ada aura-aura cupu gitu ya? :p
Nah, jadi, mereka adalah teman saya sewaktu SMA. Sebenarnya, kami baru mulai akrab di kelas tiga, saat kami sudah semakin dekat dengan kelulusan. Sedikit terlambat, tapi setidaknya kebersamaan dengan mereka adalah bagian dari perjalanan hidup saya yang tidak mungkin saya lupakan.
Saya akan menjelaskan kenangan yang saya punya bersama mereka, satu per satu.
Diantara mereka berempat, orang yang paling pertama akrab dengan saya adalah Linda. Dia adalah yang paling "cewek" di antara kami semua. Kalau digambarkan, Linda itu seperti tokoh-tokoh cewek pujaan lelaki di dalam cerita. Pintar, rajin, murah senyum, penampilannya rapi.
Tapi, tidak banyak yang tahu bahwa itu adalah bagian dari pencitraan yang dilakukan oleh Linda. Dia ingin membuat orang lain (khususnya cowok) percaya kalau dia adalah gadis lemah yang membutuhkan perlindungan dari orang di sekitarnya. Padahal, dia jauh lebih kuat daripada cowok yang paling kuat.
Di saat orang lain mengira dia tengah tekun belajar, sesungguhnya dia tengah membentuk sayap-sayap kecilnya. Bukan, bukan untuk terbang. Ah, sebenarnya saya tidak boleh menceritakan ini kepada orang lain. Nanti bisa timbul kesalahan tafsir dari apa yang saya sampaikan.
Nah, bicara soal salah tafsir, salah satu kebiasaan Linda adalah menghampiri kami yang sedang duduk santai, tersenyum lebar kemudian berseru dengan nyaring, "Eh, teman-teman, tau enggak.."
Dan dimulailah cerita mengalir dari mulutnya. Reaksi kami akan bervariatif selanjutnya, tapi dia akan selalu mengakhiri ceritanya dengan, "Gue juga enggak tau pasti,sih. Gue cuma.."
DOENK!
Nah, itulah kebiasaan jeleknya. Dia selalu mengambil kesimpulan yang terlalu jauh dari fakta yang sangat sedikit. Atau bahkan, dari apa yang dia anggap sebagai fakta.
Lain lagi dengan Siska O. Dia termasuk orang yang selalu ingin mengetahui sesuatu secara mendetail. Beberapa kali kami sampai harus menggaruk-garuk kepala dengan bingung karena tidak tahu harus menjawab apa. Pembicaraannya pun terkadang jauh dari pemikiran kami yang masih remaja alias masih polos dan tidak tahu apa-apa. Kalau tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan, dia akan merajuk dan itu bukanlah suatu hal yang menyenangkan.
Kenapa tidak menyenangkan? Begini. Salah satu julukan kami untuknya adalah "Enci" Pernah lihat ibu-ibu (alias enci-enci) di pasar saat sedang mengomel? Nah, kurang lebih seperti itulah Siska O saat mengomel. Panjang lebar, nada tinggi, nyaris tidak terbantahkan dan nyaris tanpa jeda. Dia baru akan berhenti setelah puas.
Bicara soal kepuasan, Siska O alias Okta termasuk orang yang susah merasa puas, apalagi kalau menyangkut hal yang paling esensial di dalam hidupnya, yaitu soal makanan. Pernah suatu kali dia sampai menyempatkan diri untuk menelpon ke rumahnya, mengomel panjang lebar karena hanya diberikan bekal 3 potong kue nastar. Itu bencana besar, menurutnya. Sepanjang hari dia hanya cemberut dan baru mulai melunak setelah makan pastel yang dibeli di kantin.
Nah, kalau Okta sudah mulai kenyang, maka hidup kami akan damai sentosa. Wajahnya akan bersinar penuh kebahagiaan setelah perutnya dikenyangkan. Kalau dia masih terlihat sedikit cemberut, berarti dia belum cukup kenyang.
Sedikit berbeda dengan Marion, yang saat melihat makanan pun, wajahnya langsung bersinar penuh keceriaan. Yak, Marion adalah yang paling berpikiran sederhana, di antara kami. Dia bisa bersyukur untuk hal kecil, saat makan, dia akan tersenyum lebar sambil bergoyang-goyang.
Atau saat dia bersyukur walau pun cowok yang hadir di dalam hidupnya, three-in-row, tidak ada yang berkenan di hati teman-temannya sehingga membuat dia selalu menjadi bahan ledekan.
Selain penuh rasa syukur, saya sedikit percaya kalau Marion punya kemampuan untuk melihat sesuatu dari sisi positif. Contohnya saja, saat pergantian pelajaran, guru fisika kami, Pak Hendra, memang sering terlambat masuk ke kelas.
Yang akan Marion lakukan pada saat itu terjadi adalah membagikan kartu sembari berkata, "Pak Hendra belum dateng, masih bisa satu game."
See? Dia itu opportunist sejati. Itu juga terlihat dari saat dia mulai berjualan. Dia mampu memberikan harga yang bersaing bahkan dia selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk pelanggannya.
Sekarang, kalau saya butuh sesuatu, tinggal mengirimkan pesan ke Marion, "Mar, lu jual ini gak?" Dan jawabannya bisa dipastikan adalah, "Tenang, zel. Pasti ada. Nanti gue kabarin lagi." Dan, memang bener ada.
Kalau untuk Robbie, yang paling gue inget adalah bagaimana dia selalu menirukan tokoh yang dia tonton di dalam film. Misalnya hari ini dia nonton Ghost Rider, maka besoknya kita harus bersiap melihat Robbie berlari kesana kemari sambil mengumumkan dia adalah Ghost Rider. Atau baru selesai nonton Twilight series, nah bersiaplah untuk bertemu dengan Robbie Pattinson atau Robbie Cullen.
Kalau ditanya kenapa kami tabah saja melihat tingkah aneh Robbie, yah, sebenarnya apa yang kami lakukan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bagaimana sabarnya Robbie menghadapi cewek-cewek yang "unik-menarik-atraktif" seperti kami.
Masa SMA yang saya lewatkan bersama mereka adalah kenangan tersendiri buat saya. Kami punya "basecamp" di salah satu lorong sekolah, tempat kami menikmati pastel yang dibeli di kantin. Ngomong-ngomong, pastel-nya enak, lho. Apalagi kalau pakai bumbu kacang. Hmm..
Kami juga membeli jaket dengan model dan warna yang sama. Ada juga gelang yang kami beli dengan warna yang berbeda tapi model yang sama. Eh, tunggu. Sepertinya ada yang membelikan gelang itu, tapi saya sudah lupa siapa :p
Ini penampakan gelang yang tadi dibahas
[caption id="attachment_1012" align="aligncenter" width="604"]
Hal lain yang sering kami lakukan bersama adalah menikmati makanan sebelum PM atau pendalaman materi yang wajib kami ikuti setiap hari menjelang ujian nasional. Entah itu makan indomie, roti panggang, siomay, otak-otak, atau yang lain yang bisa dibeli di sekitar sekolah.
Kami juga sering main game online bareng, dalam hal ini cuma "Audition". Saya sulit menahan diri untuk tidak tersenyum kalau mengingat bagaimana saat kami keranjingan game online. Saat kami punya "couple" alias pasangan di dalam game online tersebut. Saat kami bersaing untuk punya couple yang lebih jago. Atau lebih banyak item yang dipunya. Semua itu membuat saya tersenyum kalau mengingatnya kembali.
Saya termasuk orang dengan memory yang buruk, saat menulis ini pun saya harus mengeluarkan beberapa "contekan". Tapi, saya percaya bahwa tiap moment di dalam hidup adalah suatu hal yang patut disyukuri, entah itu membahagiakan atau menyedihkan. Entah itu memalukan atau membanggakan. Entah itu menyenangkan atau menyebalkan.
Lebih mudah untuk menjadi tua dan bijaksana apabila kita pernah muda dan bodoh.
Kalau bukan karena mereka, mungkin masa SMA saya akan berbeda. Mungkin lebih suram atau justru lebih menyenangkan, tapi saya percaya mereka yang terbaik untuk membuat saya belajar menghargai hidup, mengerti makna persahabatan dan mengenal orang lain lebih dekat.
Thanks for being part of my life, friends. Hope you will always be.
Cheers!
:D
0 Comments